Kamis, 09 Juli 2015

Reportase Kegiatan Obsevasi Pendidikan di Sumbing Selatan oleh Sanggar Belajar Rakyat (SBR) pada 27 Juni 2015



Ketimpangan pendidikan antara perkotaan dan pedesaan, bukan hal asing lagi bagi kita. Minimnya infrastruktur pendidikan, kualitas pendidikan yang rendah dan keterbatasan ekonomi merupakan problem umum pendidikan yang dirasakan masyarakat pedesaan. Hasil Investigasi sementara dari tim investigasi FMN Ranting UNSIQ di dusun ringkug, purwojiwo dan kandangan (kecamatan Sapuran) menemukan bahwa mayoritas pemudanya mentok di SMP saja. Bahkan di dusun kandangan, masih banyak dijumpai pemuda yang hanya lulusan SD. Jika dikaitkan dengan salah satu pasal di UUD 1945 (Pasal 31 Ayat 1) bahwa “pendidikan merupakan hak setiap warga negara” mengandung makna “pemerintah diharuskan untuk menyelenggarakan pendidikan yang demokratis”. Pendidikan yang demokratis bertujuan agar pendidikan menjangkau seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan yang Demokratis adalah pendidikan yang terkandung aspek partisipasi, kesetaraan dan keadilan. Partisipasi berarti kemudahan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali memperoleh kesempatan pendidikan. Kesetaraan berarti menegaskan bahwa rakyat berhak ditempatkan setara dalam proses pendidikan termasuk pengambilan kebijakan. Dan keadilan tidak lain adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan haruslah memihak pada kepentingan rakyat. 

Menyikapi hasil investigasi sementara di atas, muncullah inisiatif dari Sanggar Belajar Rakyat (SBR) FMN Ranting UNSIQ untuk mengadakan observasi pendidikan di kecamatan sapuran. Kegiatan ini dilakukan untuk semakin mendalami kondisi pendidikan di Wonosobo secara umumnya dan di kecamatan Sapuran secara khususnya. Kegiatan ini juga terkait dengan rencana pembangunan Sanggar Belajar Rakyat di pedesaan wilayah Sumbing Selatan. Setelah melalui diskusi di internal akhirnya disepakati kegiatan observasi pendidikan dilakukan tanggal 27 Juni 2015 (tgl 10 ramadhan) dan tempat yang dipilih adalah dusun purwojiwo dan kandangan (kecamatan sapuran), dua dusun yang terletak di wilayah sumbing selatan (kumpulan pedesaan di selatan gunung Sumbing)

Tanggal 27 Juni 2015 tepat pukul 10.00 WIB, 10 anggota tim observasi berangkat ke dusun Purwojiwo (1 jam perjalanan dari kampus UNSIQ). Tim observasi terdiri dari anggota FMN, relawan SBR dan massa mahasiswa. Tim observasi sampai di dusun Purwojiwo jam 11.00 WIB. Setelah istirahat dan briefing, tim observasi berangkat ke dusun Kandangan (2 km dari dusun Purwojiwo) pada pukul 12.00 WIB untuk melakukan agenda pertama yaitu diskusi dan observasi infrastruktur pendidikan di dusun tersebut. Kondisi jalan rolak (jalan dari susunan batu-batu) yang terbilang ekstrim tidak menyurutkan semangat anggota tim observasi. Setengah jam kemudian akhirnya tim observasi sampai di dusun kandangan. Tim observasi langsung menuju rumah kawan Muhammad (anggota organisasi pemuda “PEDAS”) untuk mendiskusikan kondisi pendidikan di dusun tersebut. Melalui diskusi ringan yang kami lakukan terungkap bahwa sekitar 50% pemuda dusun kandangan saat ini hanya lulusan SD dan 50% nya hanya mentok di SMP. Muhammad mengungkapkan bahwa kesadaran akan pendidikan di dusun nya memang masih rendah. Ini terutama terlihat pada sikap dan pandangan orang tua yang punya anak perempuan, dimana mereka menganggap bahwa perempuan tidak harus mempunyai pendidikan yang tinggi. Mereka menganggap bahwa sebagai anak perempuan, toh nantinya akan jadi istri yang hanya mengurus pekerjaan rumah. Ini memang pandangan yang masih mendominasi masyarakat di pedesaan wilayah sumbing selatan. Tenyata masih ditemukan banyak praktek pernikahan di bawah umur (menikah setelah lulus SD atau SMP) terutama kaum perempuannya. Muhammad tentunya sangat prihatin dengan kondisi ini. Untuk itu dia mencoba terus aktif memberikan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan . Selain itu dia juga aktif mengadvokasi anak-anak dusun nya yang ingin meneruskan sekolah ke SMP karena kendala biaya dengan mencarikan alternatif sekolah gratis. Dia mengungkapkan bahwa organisasinya (PEDAS) siap mensuport anak-anak dusun yang ingin meneruskan sekolah baik itu berupa seragam, buku, tas maupun sepatu untuk bersekolah, tapi banyak orang tua yang tetap tidak mengijinkan anaknya meneruskan sekolah. 

Pukul 13.30 tim obervasi mohon diri untuk mengamati kondisi Sekolah Dasar di dusun tersebut. Ternyata Gedung Sekolah di dusun tersebut hanya ada 4 ruangan (1 ruang guru dan 3 ruang kelas). Informasi yang kami dapat bahwa sekolah dasar di dusun kandangan baru 2 tahun berdiri dan memang hanya sampai kelas 3. Bagi siswa yang naik kelas ke kelas 4 harus pindah sekolah di dusun wekas (2 km dari dusun kandangan). Setelah selesai mengamati kondisi gedung SD di dusun kandangan, tim observasi kembali ke dusun purwojiwo untuk melakukan agenda kedua yaitu diskusi luas dengan pemuda.

Jam 14.00 WIB tepat tim observasi sampai di dusun Purwojiwo dan langsung menuju ke lokasi diskusi. 30 menit kemudian diskusi dimulai (jam 14.30 WIB). Diskusi ini di ikuti oleh sekitar 30 pemuda dari 4 dusun yaitu dusun purwojiwo, kandangan, glapan dan gintung. Sesi pertama dimulai dengan pembukaan dan perkenalan kemudian dilanjut sesi kedua yaitu materi yang di isi oleh kawan Him (Ketua organisasi tani AGRA cabang Wonosobo). Him membenarkan bahwa mayoritas pemuda hanya sekolah sampai SMP saja. Jarak ke SMK terdekat 10 km dari dusun Purwojiwo sedangkan dari dusun ringkug maupun kandangan jaraknya sekitar 12 km tanpa adanya akses angkutan umum. Inilah yang menjadi alasan utama kenapa setelah lulus SMP mayoritas pemuda tidak melanjutkan sekolah. rata-rata jarak sekolah (baik SD maupun SMP) dari dusun masing-masing sekitar 2 – 3 km dengan akses jalan yang rusak. Tentunya menjadi kesulitan tersendiri untuk anak-anak atau pemuda di sini. Apalagi mayoritas mereka harus jalan kaki pulang pergi setiap harinya. 
 
Diskusi dengan Organisasi PEDAS dan AGRA
Dalam diskusi ini, Him mengkritisi kualitas pendidikan di pedesaan yang menurut dia tidak berkualitas. Dia mengambil contoh sebuah fenomena yang terjadi pada sekolah dasar di dusun Klesman (perbatasan antara kecamatan Sapuran dan Kepil) dimana di tengah-tengah pelajaran siswanya diperbolehkan untuk ngelinting (rokok buatan sendiri) dan merokok di dalam ruang kelas. Disini dia menganggap gagalnya sosok guru dalam menerapkan sebuah peraturan yang baik di sekolah. Fenomena ini tentunya menggelitik kita semua untuk kembali mempertanyakan kualitas guru-guru di pedesaan. Selain fenomena lucu yang dia tangkap, dia menambahkan bahwa secara umum kurikulum pendidikan terutama SD dan SMP telah gagal mengembangkan kepribadian dan karakter dari siswa nya. Dia menganggap kurikulum yang diterapkan sekarang tidak ubahnya rantai yang membelenggu potensi-potensi anak didik dan memaksakan kehendak siswa untuk belajar. Untuk itu dia menawarkan konsep penjurusan sejak SD sehingga sekolah bisa benar-benar menjadi tempat pengembangan diri bagi anak didiknya.

Terkait biaya sekolah dia mengungkapkan masih adanya penarikan-penarikan biaya sekolah yang memberatkan peserta didik. Untuk itu dia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjalankan Wajib Belajar 12 tahun untuk sekolah-sekolah di pedesaan. Selain itu dia mengkritisi peran Komite sekolah yang tidak demokratis. Dalam prakteknya, komite sekolah tidak merepresentasikan kepentingan mayoritas orang tua siswa. Pengurus Komite Sekolah hanya dipegang oleh orang tua siswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Dampaknya dalam setiap penentuan kebijakan sekolah terutama terkait biaya-biaya sekolah hanya mengacu pada keputusan sepihak dari Pengurus Komite Sekolah yang sering memberatkan orang tua murid.

Terlepas dari problem-problem yang ada, dia menerangkan bahwa telah terjadi peningkatan akses pendidikan masyarakat di pedesaan selama 7 tahun belakangan ini. Dia mengungkapkan bahwa sebelum tahun 2005 mayoritas pemuda di wilayah sumbing selatan hanya lulusan SD. Secara umum ini terkait dengan peningkatan ekonomi masyarakat di sumbing selatan karena perjuangan land reform yang dipimpin organisasi AGRA selama ini. Land reform di lakukan di lahan yang di klaim milik Perhutani. Tadinya petani tidak diperbolehkan mengolah lahan milik perhutani bahkan tidak di ijinkan untuk sekedar mengambil ranting-ranting pinus yang jatuh untuk dijadikan kayu bakar. Melalui land reform ini, petani di sumbing selatan akhirnya mempunyai tanah untuk diolah dan ditanami, hasilnya juga menjadi milik petani. Dari perjuangan inilah akhirnya setahap demi setahap meningkatkan akses pendidikan di pedesaan wilayah sumbing selatan. 

Pada akhir diskusi, Him mewakili dari AGRA maupun PEDAS mengapresiasi dan mendukung sepenuhnya rencana pembangunan Sanggar Belajar Rakyat di pedesaan Sumbing Selatan. Dia berharap dengan adanya Sanggar Belajar Rakyat bisa berkontribusi terhadap peningkatan kebudayaan masyarakat di pedesaan. Dia menggaris bawahi bahwa pendidikan yang nantinya diajarkan di Sanggar Belajar Rakyat haruslah ilmiah dan mengabdi kepada rakyat yang berarti ilmu-ilmu yang diajarkan haruslah aplikatif terhadap kondisi masyarakat di wilayah sumbing selatan.
 
Foto bareng dengan PEDAS dan AGRA pasca diskusi
Diskusi selesai pada pukul 16.45 WIB, yang kemudian dilanjutkan dengan persiapan  agenda terakhir yaitu buka bersama. Adzan Maghrib menandai di mulai nya buka bersama dengan pemuda-pemuda desa. Suasana ramah tamah sangat terasa sehingga tak sadar jam sudah menunjuk pukul 19.00 WIB yang berarti waktunya untuk pulang. 
Buka bersama bareng PEDAS

Satu hari tentunya waktu yang sangat singkat untuk memahami dan mendalami kondisi pendidikan di wilayah Sumbing Selatan. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa selama satu hari ini banyak sekali hal yang kita pelajari, bahwa pendidikan di wonosobo, khususnya wilayah sumbing selatan tidak sedang baik-baik saja. Sebagai mahasiswa tidak patutlah hanya menjadi mahasiswa akademis (hanya kuliah) yang tidak paham kondisi masyarakat. Kondisi ini tentunya menuntut kita sebagai kaum intelektual untuk ikut berkontribusi memecahkan problem-problem pendidikan di kabupaten Wonosobo. FMN Ranting UNSIQ melalui Sanggar Belajar Rakyat (SBR) nya membuka pintu selebar-lebarnya kepada mahasiswa UNSIQ yang ingin berkontribusi pada peningkatan kebudayaan rakyat terutama terkait problem-problem pendidikan di Wonosobo untuk bergabung dengan kami menjadi “relawan peduli pendidikan”. Inilah bentuk nyata pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi panduan kuliah di setiap kampus di Indonesia. Ayo abdikan ilmu mu untuk rakyat..!!!

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com